MAKALAH KAPITA SELEKTA
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA
SEKOLAH UMUM DAN MADRASAH
Disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan
Dosen
Pembimbing :
Drs.H.Sudiyono
Kelompok
I:
Leli Purnama (09110051)
Ayu Rahmawati (09110020)
Zillatul
Millah (09110010)
Amiliyah (09110024)
Syaiful Bahri (09110045)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang teridah selain mengucapkan rasa syukur
Alhamdulillah kehadirat Allah swt, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya, adapun tema
makalah kami berjudul “Pendidikan Islam pada Sekolah Umum dan Madrasah”.
Shalawat serta salam senantiasa tetap tercurahkan kepada baginda
Rasulullah saw, seorang Nabi yang telah memperjuangkan panji-panji kemenangan
Islam yang telah membawa perubahan secara signifikan, yaitu membawa kita dari
zaman Jahiliyyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada
Bapak Drs. H. Sudiyono selaku dosen pengampu mata kuliah Kapita Selekta
Pendidikan yang telah memberikan banyak masukan dalam pembuatan makalah ini.
Dan tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang juga telah memberikan bantuannya
kepada kami.
Akhirnya, penulis barharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada para pembaca dan terutama pada penulis sendiri. Kritik dan saran
dari semua pihak akan sangat berharga demi kesempurnaan makalah ini.
Malang, 15 Maret 2012
Penulis
DARTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………ii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………1
1.2. Rumusan Masalah………………………………………………...2
1.3. Tujuan Masalah…………………………………………………...2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………….3
2.1. Pendidikan
Agama di Sekolah Umum............................................3
2.2. Pendidikan
Agama di Madrasah…….....................……................11
BAB III PENUTUP……………………………………………………….....18
3.1. Kesimpulan……………………………………………………......18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..……20
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan Islam
di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah literatur
tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke
Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari Asia maupun
Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara
pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan
berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah pengawasan dan
tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid
dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama
Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan
ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat
sebagai pesantren.
Masuknya penjajah (khususnya penjajah
Barat) di Indonesia membawa banyak perubahan mendasar dalam dinamika pengajaran
dan pendidikan agama Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin
melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil
menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan Islam dan
pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa pendidikan Islam di
Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat (ilmu-ilmu
umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus
berlanjut hingga kini.
Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan
Islam itu telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum
diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi
lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh Islam
dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu
pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau pandangan yang
digali dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian
sebagai fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim
tatkala mengembangkan suatu ilmu .
Perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari kemandirian, bebas pengaruh otoritas
kebijakan, sedikit banyak mulai terpengaruh. Madrasah sebagai bagian dari
lembaga pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi kondisi kekinian
masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada pendidikan
agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70 persen ilmu umum dan 30 persen agama.
Dengan demikian, berdasakan problematika di atas, maka
dalam makalah ini akan mengupas tentang pendidikan islam di Indonesia yang ada
pada sekolah umum dan agama serta menindak lanjuti solusinya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang mendasari Pendidikan Agama di
sekolah umum sedikit demi sedikit mendapat perhatian dari Pemerintah ?
2. Bagaimana usaha Pemerintah
untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah umum yang
setingkat ?
1.3 Tujuan
Masalah
1. Untuk mengetahui hal yang mendasari
Pendidikan Agama di
sekolah umum sedikit demi sedikit mendapat perhatian dari Pemerintah.
2. Untuk mengetahui
usaha Pemerintah
dalam meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan
sekolah umum yang setingkat.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Agama Islam Pada
Sekolah Umum
Pendidikan agama islam di sekolah umum merupakan
suatu gebrakan dalam pembaharuan dalam pendidikan. Pada masa penjajahan agama
tidak mendapat tempat di sekolah umum. Pendidikan agama dianggap hanya
diberikan oleh keluarga, bukan di sekolah. Kolonial Belanda sangat gencar
menghambat perkembangan pendidikan agama di sekolah umum karena selain menjajah
territorial, Belanda juga membawa misi kristenisasi di Indonesia.
Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama
di sekolah umum sedikit demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia dari tahun
ke tahun mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sehingga akhirnya pada
undang-undang no. 20 /2003 pendidikan agama diselenggarakan tidak hanya oleh
pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama telah diperbolehkan
untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal dan
informal.
Pendidikan Agama setelah kemerdekaan
Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas
peninggalan sejarah menunjukkan hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang
kemudian menjadi presiden pertama RI mengatakan bahwa pentingnya bangsa
Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengamalkan
agama yang menjadi kepercayaannya.
Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka selanjutnya
pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetaplah sebuah asas yang menempatkan Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila, sebagai manifestasi dari
sikap hidup yang religius tersebut. Selain itu pada pasal 29 UUD 1945 yang
menjelaskan tentang:
Ayat 1 : Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa
Ayat 2 :Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu.
Maka untuk merealisasikan sikap hidup yang agamis dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah
RI membentuk Departemen Agama. Tugas utama departemen ini adalah mengurus
soal-soal yang berkenaan dengan kehidupan beragama bagi seluruh rakyat
Indonesia. Salah satu di antaranya adalah berkenaan dengan pendidikan agama.
Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh Departemen Agama tidak hanya
terbatas pada sekolah-sekolah agama saja, pesantren dan madrasah, tetapi juga
menyangkut pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
ditetapkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 dan 2 sebagai berikut
:
1.
Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.
2.
Pendidikan nasional
adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakarpada nilai-nilai agama, kebudayaan
nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dari
rumusan di atas, dalam rangka mengembangkan potensi manusia Indonesia
seutuhnya, dalam arti utuh jasmani dan rohani sesuai dengan amanah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, diperlukan adanya pelaksanaan
pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah pada semua jalur jenis
dan jenjang pendidikan.
Pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah umum sesuai dengan ketentuan undang-undang dapat
dilihat pada beberapa pasal dari UUSP No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal
37 ayat (1) menyebutkan bahwa : Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu
pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.
Lebih
lanjut dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) tersebut di atas ditegaskan bahwa :
Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta berakhlak manusia.
Bab V tentang
peserta didik, Pasal 12 ayat (1)
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :
a.
Mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama.
b.
Mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
Bab X tentang
kurikulum pada Pasal 36 ayat (3) juga dinyatakan :
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memerhatikan :
a.
Peningkatan iman dan
takwa
b.
Peningkatan akhlak mulia
c.
Peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik.
d.
Keraguan potensi daerah
dan lingkungan
e.
Tuntutan pembangunan
daerah dan lingkungan
f.
Dinamika perkembangan
global
Dengan
demikian, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum diatur dalam
undang-undang, baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan,
biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum, dan komponen-komponen pendidikan
lainnya.
Lebih
lanjut dapat diungkapkan bahwa dalam rangka membangun manusia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya, maka pendidikan agama berfungsi sebagai
berikut:
1. Dalam aspek individual adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang
beriman, bertaqwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan berakhlak mulia.
2. Dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah untuk hal-hal sebagai
berikut :
a.
Melestarikan asa
pembangunan nasional, khususnya asa perikehidupaan dalam keseimbangan.
b.
Melestarikan modal dasar
pembangunan nasional yakni modal rohaniah dan mental berupa keimanan, ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan akhlak mulia.
c.
Membimbing warga negara
Indonesia menjadi warga negara yang baik sekaligus umat yang taat menjalankan
agamanya.
Hal
ini sesuai dengan rumusan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang
fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu : Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Dari
kutipan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas, dinyatakan bahwa
dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan agama menempati
tempat yang strategis secara operasional, yaitu pendidikan agama mempunyai
relevansi dengan pendidikan kehidupan bangsa dan mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya sesuai amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Upaya
pendidikan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, memberikan
makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek kepribadian seluruh makna
perlunya pengembangan seluruh dimensi
aspek kepribadian seluruhnya secara seimbang dan selaras. Konsep manusia
seutuhnya harus dipandang memiliki unsur jasad, akal, dan kalbu serta aspek
kehidupannya sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Kesemuanya
harus berada dalam kesatuan integrlistik yang bulat. Pendidikan agama perlu
diarahkan untuk mengembangkan iman, akhlak, hati nurani, budi pekerti serta
aspek kecerdasan dan keterampilan sehingga terwujud keseimbangan. Dengan
demikian, pendidikan agama secara langsung akan mampu memberikan kontribusi
terhadap seluruh dimensi perkembangan manusia Indonesia seutuhnya seperti
tercermin dari semua unsur yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan
nasional seperti yang dimaksudkan.[1]
Dalam
pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang objeknya adalah pribadi
anak yang sedang berkembang, maka adanya hubungan timbal balik antara
penanggung jawab pendidikan, yaitu yang di dalamnya terdiri dari kepala
sekolah, para guru, staf ketatausahaan, orang tua dan anggota keluarga lainnya
mutlak diperlukan. Hal ini bukan hanya karena peserta didik masih memerlukan
perlindungan dan bimbingan sekolah dan keluarga tersebut, tetapi juga pengaruh
pendidikan dan perkembangan kejiwaan yang diterima peserta didik dari kedua
lingkungan tersebut tidak boleh menimbulkan pecahnya kepribadian anak. Pengaruh
komplikasi psikologis tersebut selain bisa mengakibatkan frustasi pada diri
anak, juga dapat menghambat perkembangan jiwa anak didik.
Dengan
kata lain, suatu kerjasama antara penanggung jawab pendidikan tersebut perlu
diintensifkan, baik melalui usaha guru-guru di sekolah maupun orang-orang tua
murid. Pertemuan antara kedua pendidik (guru dan orang tua) perlu diadakan
secara periodik, kunjungan guru ke rumah orang tua murid yang diatur secara
periodik untuk saling mengadakan pertukaran pikiran dan pendapat tentang anak
didiknya adalah merupakan kegiatan padagogis yang sangat penting artinya bagi
usaha menyukseskan pendidikan agama. Guru perlu mengetahui sedikit tentang
suasana rumah, tempat anak itu hidup, sehingga guru mengetahui suasana hidup
keagamaannya dan bagaimana pandangannya terhadap perlunya pendidikan agama bagi
putra-putrinya.Guru memerlukan keterangan-keterangan dari orang tua murid
mengenai anaknya masing-masing. Melalui cara demikian, guru akan memperoleh
petunjuk-petunjuk yang berharga yang dapat digunakan guna pendidikan anak di
sekolah.
Lingkungan
masyarakat juga mempunyai pengaruh pada pendidikan anak di sekolah. Terhadap
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah, sekolah dan masyarakat
mempunyai hubungan timbal balik, yaitu sekolah menerima pengaruh
masyarakat dan masyarakatnya juga
dipengaruhi oleh hasil pendidikan sekolah. Menjadi tugas sekolah untuk mengenal
anak agar mereka belajar hidup di masyarakat dan belajar memahaminya dan
mengenal baik buruknya. Dengan demikian, dengan cara tersebut diharapkan agar
anak memahami dan menghargai suasana masyarakatnya. Salah satu dari tujuan
sekolah adalah mengantar anak dari dalam kehidupannya di dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan agama yang berlangsung dan diselenggarakan
masyarakat harus menjadi penunjang dan pelengkap yang mampu untuk mengembangkan
pengetahuan dan wawasan keagamaan anak. Demikian pula hendaknya yang terjadi di
lingkungan keluarga, pendidikan agama harus menjadi pendorong yang saling
menguatkan, sehingga melalui program keterpaduan dapat dikembangkan program
pendidikan agama yang berkelanjutan, yang saling mengisi dan menguatkan. Program
pendidikan agama pada ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus diusahakan
agar tidak tumpang tindih, tidak saling melemahkan dan tidak jadi bertentangan
satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, prinsip keterpaduan pendidikan agama
Islam akan tercapai dengan baik. Selanjutnya, perlu ditegaskan kembali di sini
bahwa pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga
kerukunan hubungan antarumat beragama.
Adapun
tujuan pendidikan agama, yaitu untuk berkembangnya kemampuan peserta didik
dalam mengembangkan, memahami, menghormati dan mengamalkan nilai-nilai agama
Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perlu diingat bahwa
dalam pelaksanaan pendidikan agama harus memerhatikan prinsip dasar sebagai
berikut :
1.
Pelaksanaan pendidikan
agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan
agama yang dianut peserta didik.
2.
Pendidikan agama harus
mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan
sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam
berbangsa dan bernegara.
3.
Pendidikan agama harus
dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis sehingga menjadi
pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4.
Pendidikan agama harus
mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat internal agama yang
dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
5.
Satuan pendidikan yang
berciri khas agama dapat menciptakan suasana keagamaan dan menambah muatan
pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti tambahan materi, jam pelajaran, dan
kedalamannya.
Dengan
demikian, setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama,
dengan ketentuan sebagai berikut :
1.
Setiap satuan pendidikan
menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
2.
Satuan pendidikan yang
tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama dapat bekerja
sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggaraan pendidikan
agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
3.
Satuan pendidikan
seharusnya menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk
melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan persyaratan agama yang dianut oleh
peserta didik.
4.
Tempat melaksanakan
ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan
pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
5.
Satuan pendidikan yang
bercirikan khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun tempat ibadah agama
lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Adapun
kualifikasi minimum pendidik pendidikan agama tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK,
atau bentuk lain yang sederajat adalah sarjana agama, ditambah sertifikat
profesi pendidik pendidikan agama dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
Pendidik pendidikan agama adalah guru mata pelajaran pendidikan agama harus
memiliki latar belakang agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik dan
mata pelajaran pendidikan agama yang diajarkan bagi pendidik yang tidak
memenuhi kualifikasi minimum sebagaimana tersebut, tetapi memiliki di bidang
agama setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan.
Pendidik
pendidikan agama pada satuan pendidikan disediakan oleh satuan pendidikan yang
bersangkutan atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Mengenai
pengawasan pendidikan agama dilakukan oleh pengawas pendidikan agama terhadap
penyelenggaraan pendidikan agama, yang meliputi pemantauan, supervisi,
evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Laporan sebagaimana
dimaksud di atas berisi evaluasi terhadap pelaksanaan teknis pendidikan agama
dan ditujukan kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota atau Kantor Wilayah
Departemen Agama.[2]
2.2 Pendidikan Agama Islam di Madrasah
1. Berkembangnya
Madrasah di Indonesia
Madrasah (Bahasa Arab)
berarti tempat untuk belajar. Persamaan Madrasah alam bahasa Indonesia adalah
“sekolah”, dengan konotasi yang khusus yaitu sekolah-sekolah agama Islam.
Tempat belajar adalah tempat untuk mengajarkan dan mempelajari ajaran-ajaran
agama Islam, ilmu pengetahuan, dan keahlian lainnya yang berkembang pada
zamannya.
Sekitar abad ke-19,
pemerintah Belanda mulai memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat
sehingga hal itu sedikit banyak mempengaruhi system pendidikan yang telah
berkembang di Indonesia, termasuk pesantren yang menjadi sistem pendidikan madrasah. Sistem sekolah yang
dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda telah memasuki dunia pesantren.
Sistem khalaqah bergeser ke arah sistem madrasah dalam bentuk klasikal,
dengan unit-unit kelas.
Pada perkembangan
selanjutnya, banyak madrasah yang didirikan terpisah dengan induknya yaitu pesantren, surau atau masjid. Bahkan,
dengan adanya ide-ide pembaruan dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, tidak sedikit madrasah yang didirikan sudah lepas sama
sekali dengan pesantren sehingga tidak hanya memberikan pengetahuan agama,
tetapi juga mengajarkan pengetahuan umum, sesuai dengan tuntutan zaman.
Madrasah yang pertama kali didirikan di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah di
Padang Sumatra Barat, yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad tahun 1909.
Madrasah tersebut pada
mulanya bercorak agama murni. Akhirnya pada tahun 1915 berubah coraknya menjadi
HIS (Holand Inland School) Adabiyah. HIS Adabiyah inilah yang merupakan
sekolah pertama yang memasukkan pelajaran agama ke dalam kegiatan
pengajarannya.
Awal abad ke-20 merupakan
masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah di seluruh Indonesia, dengan nama
dan tingkatan yang bervariasi dan belum ada keseragaman baik isi kurikulum
serta rencana pelajaran. Baru, setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1950
mulai dirintis penyeragaman bentuk, sistem dan rencana pelajaran. Dari sini dapat dikatakan bahwa madrasah-madrasah pada awal
perkembangannya masih bersifat diniyah semata, atau materi pendidikannya hanya
agama. Kemudian sekitar tahun 1930 terjadi pembaruan madrasah, yaitu dengan
masuknya pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya.[3]
2.
Sistem
Pendidikan dan Pengajaran di Madrasah
Secara historis, pada
tahap-tahap awal perjalanan madrasah tidaklah begitu mulus, kendatipun didirikan dengan nama
madrasah, semula yang dikehendaki ialah suatu lembaga pendidikan dengan sistem klasikal, yang didalamnya anak didik mendapatkan
ilmu pengetahuan agamaan umum secara berimbang. Tetapi prakteknya hanya
dicerminkan oleh sistem klasikalnya saja, sementara kurikulum yang diajarkan tetap
semata-mata bidang studi agama. Karena itu banyak madrasah pada tahap-tahap
awal ini tidak bedanya dengan pesantren tradisional yang sudah lama berjalan.
Dari kenyataan-kenyataan
tersebut, maka oleh Departemen Agama diadakanlah upaya-upaya untuk peningkatan
kualitas madrasah, yang salah satu aspeknya adalah kurikulum. Untuk masalah
kurikulum ini, dalam perkembangannya telah beberapa kali diadakan perubahan,
dari yang muatannya lebih banyak pengetahuan agama dari
pada pengetahuan umum sampai dengan diberlakukannya
kurikulum 1994 yang memuat kurang lebih 10% pendidikan agama dan 90%
pengetahuan umum.
Sistem pendidikan dan
pengajaran yang digunakan pada madrasah merupakan perpaduan antara sistem
pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Proses
perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dari mengikuti
system klasikal. Sistem pengajian kitab, diganti dengan bidang-bidang pelajaran
tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama. Kenaikan tingkat
ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang pelajaran tertentu.
Pada perkembangan berikutnya
sistem pondok mulai
ditinggalkan dan
berdiri madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan
sekolah-sekolah modern. Namun demikian, pada tahap-tahap awal madrasah tersebut
masih bersifat diniyah yang hanya mengajarkan pengetahuan agama.
Tampaknya, ide-ide
pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa
Indonesia sangat besar pengaruhnya, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk
ke dalam kurikulum madrasah, dan terus berproses sebagaimana digambarkan
terdahulu. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan
tingkatan madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang
berlaku di sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah
yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah-sekolah modern,
seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkatan dasar, Madrasah Tsanawiyah
(MTs) untuk tingkatan SMP, Madrasah Aliah (MA) untuk tingkatan SMA, dan ada
pula Kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang disebut normal Islam.[4]
Dalam tahap selanjutnya, penyesuaian
tersebut demikian terpadunya, sehingga kabur perbedaannya, kecuali pada
kurikulum dan nama madrasah yang diembeli dengan Islam. Kurikulum madrasah masih mempertahankan agama sebagai
mata pelajaran pokok, walaupun dengan prosentase yang berbeda. Pada waktu
pemerintah RI dalam hal ini Kementrian Agama mulai mengadakan pembinaan dan
pengembangan terhadap sistem pendidikan madrasah, melalui Kementrian Agama,
merasa perlu menentukan kriteria-kriteria madrasah. Kriteria yang ditetapkan
oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah yang berada dalam wewenangnya adalah
harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6
jam seminggu.[5]
Adapun pengetahuan umum yang
diajarkan pada madrasah pada masa-masa awal adalah:
a
Membaca dan menulis (huruf latin) bahasa Indonesia
b
Berhitung
c
Ilmu bumi
d
Sejarah Indonesia dan Dunia
Dalam perkembangannya,
kurikulum pada madrasah dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan
dan perubahan seiring dengan kemajuan zaman. Semua ini dilakukan adalah dengan
tujuan peningkatan kualitas madrasah, agar keberadaannya tidak diragukan dan
sejajar dengan sekolah-sekolah lain.[7]
3.
Usaha Pembinaan
dan Peningkatan Mutu Madrasah
Wewenang pembinaan
diserahkan kepada Kementrian Agama. Tujuan pembinaannya adalah madrasah
berkembang secara terintegrasi alam satu sistem nasional, sebagaimana yang dikehendaki oleh UDD
1945. Pemerintah menggariskan kebijaksanaan bahwa madrasah yang diakui dan
memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar pada
Kementrian Agama. Untuk dapat terdaftar, persyaratan utamanya adalah madrasah
yang bersangkutan harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok
paling sedikit 6 jam seminggu sacara teratur di samping pelajaran umum. Upaya
pemerintah menyediakan para guru agama untuk sekolah-sekolah dan
perguruan-perguruan umum, pada tahun 1951, kementrian agama mendirikan Sekolah
Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Hakim Agama Islam (SHAI). Kedua sekolah tersebut
sering mengalami pergantian nama yang akhirnya menjadi PGA dan PHIN (Pendidikan
Hakim Islam Negeri).
Jumlah madrasah yang cukup
besar di Indonesia memberikan andil yang besar dalam ikut serta mencerdaskan
kehidupan bangsa. Namun, ciri khas madrasah yang menitikberatkan pendidikan
agama (mula-mula 100% agama kemudian 30% umum dan 70% agama), dipandang kurang
mampu membekali peserta didik untuk bisa hidup di dunia yang semakin maju, yang membutuhkan penguasaan iptek untuk
menghadapinya. Lulusan madrasah kurang bersaing di bidang penggunaan iptek di
bandingkan anak-anak lulusan sekolah umum. Padahal, orang memerlukan kehidupan
yang layak sebagai warga Negara Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah
berusaha untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah umum yang
setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yang dimaksud dengan SKB 3 M
yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975, Menteri
P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun
1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang dimaksud dengan
madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%
disamping mata pelajaran umum. Sedangkan sebelum SKB 3 M, komposisi kurikulum
madrasah yaitu70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan
mutu madrasah agar tingkat pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang
sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni: (1) Madrasah Ibtidaiyah [MI]
untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah [MTs] untuk tingkatan SMP, (3)
Madrasah Aliyah [MA] untuk tingkatan SMA.
Dengan pernyataan tingkat mutu tersebut maka:
a. ijazah
marasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah umum yang
setingkat;
b. murid madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang
setingkat; dan
c. lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
Untuk mencapai tingkatan
yang sama dengan sekolah umum, usaha peningkatan yang akan dilakukan meliputi:
(1) masalah kurikulum; (2) buku pelajaran, alat pelajaran dan sarana pelajaran
pada umumnya; dan (3) masalah pengajar/pendidik.
Dengan usaha peningkatan
tersebut maka tingkat pendidikan umum pada madrasah akan setingkat dengan
pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga:
a. standar
pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD
b. standar
pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP
c. standar
pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.
Dengan adanya SKB 3 M ini,
maka tugas dan fungsi madrasah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan
nasional makin mantap dan kuat sehingga lulusan madrasah bisa memperoleh
kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum sebagai warga Negara yang
memiliki hak dan kewajiban.
Dengan demikian yang
dimaksudkan pendidikan agama di madrasah adalah suatu program untuk memenuhi
sebagian dari tujuan pendidikan di madrasah di bidang pengetahuan, penghayatan
dan pengalaman agama. Program itu diarahkan untuk menjadi muslim yang bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa baik yang diarahkan sebagai bekal kemampuan
pribadinya maupun sebagai bekal untuk memasuki lapangan kerja. Program tersebut
sebagai ciri khas kekhususan sebagai sekolah agama.
Materi pendidikan agama di
madrasah untuk semua tingkat berdasarkan kurikulum tahun 1934 adalah:
a) Al-qur’an-hadits,
b) Aqiah
akhlak,
c) Fiqh,
Pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan mutu dan
relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan kondisi
lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan
dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan atas satuan pendidikan
dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1)
Seperti yang dikatakan terdahulu,
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan
hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama
RI mengatakan bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap
bangsa Indonesia untuk mengamalkan agama yang menjadi kepercayaannya.
Kemudian setelah kemerdekaan
eksistensi pendidikan agama di sekolah umum sedikit demi sedikit mendapat
perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang
sangat signifikan. Sehingga akhirnya pada undang-undang no. 20 /2003 pendidikan
agama diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan
pemeluk agama telah diperbolehkan untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui
jalur formal, nonformal dan informal.
2)
Usaha Pemerintah untuk meningkatkan mutu
madrasah agar sejajar dengan sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan
dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal
dengan SKB 3 M. yang dimaksud dengan SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara
Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975, Menteri P&K dengan SK No.
37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun 1975, tertanggal 24
Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang
dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan sebelum SKB 3
M, komposisi kurikulum madrasah yaitu70% pelajaran agama dan 30% pelajaran
umum.
Adapun
tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat pelajaran umum di
madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni:
(1) Madrasah Ibtidaiyah [MI] untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah
[MTs] untuk tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah [MA] untuk tingkatan SMA.
Dengan pernyataan
tingkat mutu tersebut maka:
(1) ijazah marasah memiliki nilai yang sama
dengan nilai ijazah dari sekolah umum yang setingkat;
(2) murid
madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat; dan
(3) lulusan madrasah dapat melanjutkan
ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
Untuk mencapai
tingkatan yang sama dengan sekolah umum, usaha peningkatan yang akan dilakukan
meliputi: (1) masalah kurikulum; (2) buku pelajaran, alat pelajaran dan sarana
pelajaran pada umumnya; dan (3) masalah pengajar/pendidik.
Dengan
usaha peningkatan tersebut maka tingkat pendidikan umum pada madrasah akan
setingkat dengan pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga:
(1)
standar pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD;
(2) standar pelajaran umum
di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP;
(3) standar pelajaran umum
di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. 1996. Kapita Selekta
Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
I. Djumhur & Danusaputra. 1979. Sejarah
Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu.
Shaleh, Abdul Rachman. 2006. Pendidikan
Agama & Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sutedjo, Muwardi. dkk. 1992. Kapita
Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Ditjen Binbaga Islam dan UT.
Yunus, Mahmud. 1985. Seajarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zuhairini & Ghofur, Abdul. 2004.
Metodelogi Pembelajaran PAI. Malang: Universitas Negeri Malang.
[1] Depdiknas, kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliya, (Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang
Depdiknas, 2003), hlm. 17.
[2] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 15-23.
[3] Zuhairini & Abdul Ghofur, Metodelogi Pembelajaran PAI,
2004, hal. 30-31.
[4] Mahmud Yunus, Seajarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1985,
hal. 12-103
[5] I. Djumhur-Danusaputra, Sejarah Pendidikan, 1979, hal. 223.
[6] Muwardi Sutedjo, dkk., Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam,
1992, hal. 42.
[7] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, 1996, hal.
73.
[8] Zuhairini & Abdul Ghofur, Opcit, 2004, hal. 31-33.